JAMBI - Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, mengatakan, kebudayaan dan sko
(sistem matrilineal dalam upacara adat Kerinci) saat ini ibarat "gadis
cantik" yang tengah diincar oleh asing, khususnya oleh Pemerintah Diraja
Malaysia.
"Saya melihat ada gelagat tidak tulus dari berbagai
kepedulian terhadap pemeliharaan Kebudayaan Kerinci yang dilakukan
Pemerintah Diraja Malaysia belakangan ini. Boleh saja kita katakan
mereka saat ini tengah mengincar
kebudayaan dan sko Kerinci untuk diklaim," kata budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, saat dihubungi di Jambi, Minggu (27/3/2011).
kebudayaan dan sko Kerinci untuk diklaim," kata budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman SS, saat dihubungi di Jambi, Minggu (27/3/2011).
Gelagat
itu, tambah Nukman, sebenarnya sudah terbaca jauh-jauh hari ketika
semenjak awal 1990-an, peneliti-peneliti dari Malaysia mulai berdatangan
dan didatangkan ke Kerinci membawa misi riset budaya. Hingga saat ini,
Kerinci masih menjadi obyek riset budaya yang dominan oleh para peneliti
negeri jiran tersebut.
"Di samping itu, perhatian lebih yang
diperlihatkan Pemerintah Diraja Malaysia belakangan ini terhadap Kerinci
terkesan ada niatan terselubung yang mesti diwaspadai pemkab dan
masyarakat Kerinci," ujar Nukman.
Malaysia, imbuhnya, jelas-jelas sudah terlihat tengah mengincar sko
atau produk-produk budaya warisan leluhur masyarakat Kerinci untuk
nantinya mereka klaim sebagai budaya negeri mereka. Menurutnya, semua
pihak perlu mewaspadai gelagat itu, jangan sampai terlena oleh manuver
perhatian berlebihan dan iming-iming Pemerintah Malaysia.
Asumsi
tersebut, tambahnya, tidak saja dari dugaan semata. Hal ini terasa lebih
jika menilik berbagai kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh
negeri jiran tersebut sebelum ini. Kesemua klaim yang pernah mereka
lakukan antara lain atas kebudayaan batik, reog, rendang, lagu "Rasa
Sayange", lagu "Injit-injit Semut", angklung, dan tari pendet.
Semua
klaim tersebut nyata-nyata telah memunculkan protes keras dari
pemerintah dan masyarakat Tanah Air karena semua yang diklaim itu adalah
budaya-budaya Indonesia yang populer di mata dunia dan diakui
keberadaannya sebagai kebudayaan RI oleh Unesco. Namun, sebagai negara
serumpun yang memiliki akar kultural yang sama, Indonesia tetap menjadi
incaran mereka dalam membangun identitas kebudayaan negaranya.
Oleh
karena itulah, mereka mulai meramu rencana dan strategi baru guna
mencari cara yang aman dari protes masyarakat RI dan dunia. Salah satu
caranya adalah dengan mencari negeri lain di Indonesia yang tidak
terlalu populer keberadaannya, kurang diperhatikan atau dipedulikan
pemerintahnya, tetapi kaya tradisi dan budaya asli.
Tentu saja
negeri yang dipilih adalah negeri yang dinilai memiliki kisah kedekatan
dengan mereka, baik secara kultural, maupun historis.
Para
peneliti akan didatangkan dan berdatangan ke negeri tersebut dengan
dalih melakukan riset. Semua itu adalah cara mereka untuk mengumpulkan
atau mendata kekayaan tradisi masyarakat bersangkutan.
Langkah
berikutnya, mereka akan memulai tahap pendekatan seperti salah satunya
memfasilitasi berbagai fasilitas dan keperluan pengembangan kebudayaan
masyarakat di negeri tersebut. Contohnya, mereka akan memberikan
berbagai macam hadiah dan hibah, mulai dari bantuan bangunan fisik
seperti museum, bantuan hibah finansial, pengiriman cendera mata
persahabatan kepada kepala daerah bersangkutan.
Lalu berikutnya
bisa dipastikan bahwa mereka akan menyusul dengan pemberian atau
penobatan gelar kebangsawanan kepada tokoh di negeri tersebut secara
langsung oleh Raja yang Dipertuan Agung, bisa juga dari raja-raja di
negara bagiannya, bahkan dari pemerintahnya.
Setelah itu, mereka
akan mencoba merancang dan merekayasa rangkaian hubungan silsilah
kekerabatan sosial, kultural dan historis dengan negeri tersebut dengan
Malaysia, berdasarkan berbagai temuan data dan fakta riset yang telah
didapatkan para peneliti yang mereka kirim sebelum-sebelumnya.
Mereka
kemudian akan memulai tahap akhir yang diawali dengan kampanye tentang
rekayasa yang telah mereka susun tersebut kepada publik sehingga asumsi
masyarakat bergeser kepada mereka. Sebagai pemungkasnya, mereka akan
mengklaim produk budaya negeri bersangkutan yang telah mereka kumpulkan
dan teliti tersebut menjadi hak milik negara mereka.
"Kerinci
adalah negeri baru yang mereka incar tersebut. Alasannya, Kerinci yang
memiliki banyak kebudayaan asli dan masih murni hingga kini tersebut
masih terbilang negeri yang masih sangat lugu dan kurang mendapat
perhatian dari pemerintah, khususnya pemerintah pusat, dibandingkan
daerah-daerah pariwisata lainnya," beber Nukman.
Terciumnya jejak
sejarah kekerabatan masyarakat Kerinci dengan Malaysia telah dimulai
dengan banyaknya warga Kerinci yang jadi perantauan di Malaysia. Hal ini
sudah berlangsung dari zaman nenek moyang mereka dulu.
"Karena
itulah, langkah pendekatan mereka kini sudah lebih meningkat ke tahap
lanjutan, yakni dengan memulai menunjukkan kepedulian dan perhatian
kepada Kerinci. Indikasinya adalah hadiah atau hibah bangunan Museum
Kebudayaan Kerinci yang dibangun di Malaka, khusus untuk menampung
kebudayaan masyarakat Kerinci. Bupati Kerinci telah diundang Diraja
Malaysia untuk meresmikan keberadaan museum tersebut pada April
mendatang," ungkap Nukman.
Nanti, tambahnya, keberadaan museum tersebut membuka peluang bagi mereka untuk secara aman menarik atau memindahkan keberadaan sko-sko dari Umah Gdang, rumah adat penyimpanan sko desa-desa di Kerinci, yang sebelumnya sangat tertutup dan dijaga dengan sangat ketat oleh pkaum.
Berikutnya, tambahnya, bisa dilihat pada saat momentum ketika pihak
pemerintah dan atau Diraja Malaysia akan memberikan cindera mata atau
bahkan mungkin akan menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada Bupati
seperti langkah ketiga, untuk menyanjung sekaligus mengikat Kerinci.
Saat
itu juga dipastikan akan mulai dikampanyekan mengenai bagaimana
hubungan kedekatan dan kekerabatan Malaysia-Kerinci sehingga pejabat
daerah Kerinci merasa sangat tersanjung dan merasa mendapat apresiasi
yang selama ini tidak mereka dapatkan dari Pemerintah RI.
"Itulah
strategi menuju invasi pengklaiman yang akhirnya akan mereka lakukan.
Gelagat itu sudah jelas terbaca. Pasalnya, hal serupa juga sudah sering
mereka lakukan tehadap daerah-daerah lain sebagai cara awal
pra-pengklaiman terjadi, seperti terhadap Pemerintah Sumbar, Aceh,
Sumsel, Riau, dan terakhir Jambi," sebut Nukman.
Namun, selama
mereka gagal karena kuatnya proteksi kebudayaan oleh sistematika adat
daerah bersangkutan, tidak ada celah bagi mereka untuk melakukan klaim.
Beberapa kebudayaan memang berhasil mereka klaim, seperti motif songket
Pucuk Rebung Riau yang berhasil mereka curi dan terjemahkan dalam bentuk
bangunan, yakni kubah Menara Kembar tertinggi di dunia yang kini
menjadi ikon Malaysia.
"Sementara itu, beberapa bentuk kebudayaan
lainnya termasuk rendang dari Padang, gagal mereka klaim. Khusus untuk
invasi tahap kedua yang obyeknya adalah Kerinci, sepertinya mereka
berpeluang besar untuk berhasil mendapatkan klaim baru terhadap beberap sko asli masyarakat Kerinci, khususnya terhadap naskah-naskah kuno Kerinci," kata Nukman.
Oleh
karena itulah, ia mengingatkan pemkab dan masyarakat Kerinci untuk
mewaspadai berbagai iming-iming berbuntut tipu daya yang ditunjukkan
Malaysia.
"Jangan sampai nantinya ditemukan produk budaya asli
masyarakat Kerinci yang berpindah tangan ke negeri jiran yang mungkin
saja jadi ikon kebudayaan mereka yang baru. Pemerintah pusat melalui
Kemenbudpar juga harus turut membantu memantau gelagat tersebut. Bahkan,
Budpar wajib membantu masyarakat Kerinci melestarikan dan mengembangkan
kebudayaannya sehingga terproteksi dari klaim negara lain yang
mengancam," tandasnya.
sumber : Kompas