JAKARTA - Pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono(SBY) yang menganggap bahwa gerakan rakyat untuk menggulingkan
dirinya adalah gerakan inkonstitusional dinilai sebagai pernyataan yang
gegabah dan bentuk kriminalisasi terhadap hak pembangkangan sipil dan
hak menyatakan pendapat milik rakyat yang diatur dalam UUD 1945.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH.
"Saya
melihat bahwa pernyataan Presiden SBY sangat gegabah. Sikap itu sama
saja dengan mengkriminalisasi hak masyarakat yang justru dilindungi oleh
konstitusi," ujarnya dalam pernyataannya,
Minggu(17/3/2013).
Menurut Aidul, konstitusi sendiri harus mengacu
pada asas konstitusionalisme seperti yang pernah diajarkan oleh Bapak
Revolusi
Indonesia sekaligus Presiden Pertama RI, Soekarno.
Indonesia sekaligus Presiden Pertama RI, Soekarno.
"Konstitusi
itu diciptakan untuk rakyat dan bukan rakyat untuk konstitusi. Sehingga
ketika sistem yang berjalan dan berkuasa dipandang sudah menyimpang
maka adalah konstitusional ketika rakyat memaksa agar sistem bekerja
sesuai dengan kehendak rakyat," tegasnya.
"Jadi konstitusi sendiri
tidak bisa menyimpang dari prinsip konstitusionalisme yang mengacu pada
2 hal yakni menjamin hak rakyat untuk menyatakan pendapat dan kedua
membatasi kekuasaan pemerintah. Itu dasarnya," imbuh Aidul.
Lebih lanjut Aidul memaparkan bahwa banyak sejarah konstitusi Indonesia yang tidak ditulis secara formal dan prosedural.
"Dekrit
presiden 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno misalnya. Apakah
itu sesuai dengan prosedur formal dan aturan yang berlaku saat itu,
jelas tidak, tapi itu diterima masyarakat d an berjalan hingga hari ini.
Konstitusional nggak itu, jelas konstitusional dong, kalau tidak
berarti pemerintahan pasca dekrit termasuk pemerintahan SBY juga
inskonstitusional," paparnya.
"Selain itu turunnya Presiden
Soeharto pada 1998 lalu yang secara formal jelas dipandang menyalahi
konstitusi yang berlaku saat itu, tapi ketika rakyat menerima maka yang
terjadi adalah tindakan yang konstitusional," katanya.
Merujuk
pada gerakan rakyat yang dikabarkan ingin menuntut turunnya SBY, Aidul
sendiri lebih melihat hal itu sebagai bentuk kegeraman rakyat atas
buntunya mekanisme formal yang berjalan di negeri ini.
"Kalau
sistemnya benar seharusnya aspirasi dan kegelisahan rakyat dapat
ditangkap oleh lembaga seperti DPR dan MPR untuk disampaikan kepada
Presiden. Nah dalam konteks hari ini itu tidak berjalan, jadi gerakan
rakyat itu justru harus ditempatkan sebagai gerakan untuk menegakkan
konstitusi yang tidak berjalan. Itu konteksnya yang sesuai dengan asas
konstitusionalisme, jadi itu bukan tindakan inkonstitusional dong,"
terangnya.
"Seharusnya kan aspirasi rakyat itu diserap bukan
justru dikriminalisasi. Nah lucunya itu justru yang terjadi, sehingga
SBY saya anggap sangat gegabah saat menyatakan itu," tambahnya.
Aidul menekankan bahwa dalam hukum Tata Negara sendiri dikenal istilah keadilan formal dan keadilan konstitusional.
"Gerakan
seperti yang digalang oleh Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia(MKRI)
sendiri yang mengultimatum agar SBY segera turun, jelas tidak untuk
mendapatkan keadilan formal, karena secara formal dan sesuai prosedural
dipandang salah, tapi secara konstitusionalisme, itu sah dan itu yang
disebut sebagai keadilan konstitusional," pungkasnya.