DEPOK - Menjelang peringatan setahun tragedi Koja, para
akademisi dan sejumlah peneliti mengungkapkan
sebuah fakta baru terkait
keberadaan makam Mbah Priok di Jakarta Utara.
Hal ini juga mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan bahwa pengultusan terhadap seseorang tidak disarankan. "Pesan MUI segera dapat terbaca bahwa ziarah ke Makam Priok jika itu ditautkan dengan pengkultusan tidaklah disarankan,” ujar Tommy
Christomy, tim pengkaji kasus makam eks TPU Dobo.
Ungkapan Tommy disampaikan dalam seminar Membongkar Mitos dan Tradisi Ziarah Makam Mbah Priok yang digelar Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, Kamis (7/4/2011).
“Terlebih ada berbagai kesaksian bahwa sebetulnya telah ada upaya pemindahan makam ke Semper, kendati juga hal ini dibantah oleh sebagian ahli waris," lanjut Tommy.
Menurut Tommy, ada beberapa opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian kasus makam Mbah Priok. Pertama, makam tetap di sana sebagaimana yang diharapkan peziarah. Kedua, tetap di tempat semula tapi luas tanah yang digunakan tidak seluas semula.
“Ketiga, pindah ke tempat baru. Atau pindah ke tempat baru tapi tempat lama tetap dipelihara meski tak seluas semula," tambah Tommy.
Pembicara lain dalam seminar tersebut, pengamat sosial politik Bachtiar Effendy mengungkapkan, berziarah ke makam yang bukan angggota keluarga biasanya memiliki dimensi kepentingan yang berbeda. Mereka yang berkunjung biasanya disertai niat atau maksud mencari keberkahan.
“Bahwa mereka juga mengucapkan zikir, melafalkan tahlil, membacakan bagian-bagian Alquran serta mengucapkan doa adalah benar adanya. Akan tetapi, hal-hal itu pada umumnya juga disertai dengan membersitkan keinginan atau niatan untuk memperoleh berkah atau keberuntungan dari Allah melalui perantaraan penghuni makam untuk meraih kesehatan badan, ketenteraman batin, ketenangan hati, kemuliaan hidup, peningkatan kualitas keagamaan, kemakmuran, kesejahteraan, bahkan kekuasaan,” papar Bachtiar.
Ditambahkan Bachtiar, terlepas dari kuatnya pendapat semacam itu, sampai sekarang masih sulit ditemukan penjelasan yang memadai untuk menerangkan secara lebih konkrit keterkaitan antara kekuasaan dengan ziarah kubur.
“Di samping itu, para pelaku politik atau pemegang kekuasaan akan lebih percaya diri jika dikatakan bahwa kekuasaan politik yang mereka peroleh bersumber dari hal-hal yang bersifat tangible, seperti pemilihan umum dan lain sebagainya,” tandas Bachtiar.

Hal ini juga mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan bahwa pengultusan terhadap seseorang tidak disarankan. "Pesan MUI segera dapat terbaca bahwa ziarah ke Makam Priok jika itu ditautkan dengan pengkultusan tidaklah disarankan,” ujar Tommy
Christomy, tim pengkaji kasus makam eks TPU Dobo.
Ungkapan Tommy disampaikan dalam seminar Membongkar Mitos dan Tradisi Ziarah Makam Mbah Priok yang digelar Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, Kamis (7/4/2011).
“Terlebih ada berbagai kesaksian bahwa sebetulnya telah ada upaya pemindahan makam ke Semper, kendati juga hal ini dibantah oleh sebagian ahli waris," lanjut Tommy.
Menurut Tommy, ada beberapa opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian kasus makam Mbah Priok. Pertama, makam tetap di sana sebagaimana yang diharapkan peziarah. Kedua, tetap di tempat semula tapi luas tanah yang digunakan tidak seluas semula.
“Ketiga, pindah ke tempat baru. Atau pindah ke tempat baru tapi tempat lama tetap dipelihara meski tak seluas semula," tambah Tommy.
Pembicara lain dalam seminar tersebut, pengamat sosial politik Bachtiar Effendy mengungkapkan, berziarah ke makam yang bukan angggota keluarga biasanya memiliki dimensi kepentingan yang berbeda. Mereka yang berkunjung biasanya disertai niat atau maksud mencari keberkahan.
“Bahwa mereka juga mengucapkan zikir, melafalkan tahlil, membacakan bagian-bagian Alquran serta mengucapkan doa adalah benar adanya. Akan tetapi, hal-hal itu pada umumnya juga disertai dengan membersitkan keinginan atau niatan untuk memperoleh berkah atau keberuntungan dari Allah melalui perantaraan penghuni makam untuk meraih kesehatan badan, ketenteraman batin, ketenangan hati, kemuliaan hidup, peningkatan kualitas keagamaan, kemakmuran, kesejahteraan, bahkan kekuasaan,” papar Bachtiar.
Ditambahkan Bachtiar, terlepas dari kuatnya pendapat semacam itu, sampai sekarang masih sulit ditemukan penjelasan yang memadai untuk menerangkan secara lebih konkrit keterkaitan antara kekuasaan dengan ziarah kubur.
“Di samping itu, para pelaku politik atau pemegang kekuasaan akan lebih percaya diri jika dikatakan bahwa kekuasaan politik yang mereka peroleh bersumber dari hal-hal yang bersifat tangible, seperti pemilihan umum dan lain sebagainya,” tandas Bachtiar.
sumber : okezone