Pengamat: Ada Skenario Jegal Jokowi
Jakarta - Pengamat politik dari Indonesia Public Institute Karyono Wibowo berpendapat dukungan resmi Partai Demokrat kepada calon presiden Prabowo Subianto dapat dianggap sebagai skenario besar untuk menjegal capres Joko Widodo.
"Ada skenario besar yang disiapkan untuk melawan dan menjegal Jokowi menjadi presiden 2014-2019. Hal itu terlihat, salah satunya dari bergabungnya Partai Demokrat mendukung Prabowo," kata Karyono kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Karyono mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden memang telah menyatakan diri akan bersikap netral. "Tapi, ada sesuatu yang paradoks. Dimana di sisi lain, SBY adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Dukungan yang diberikan Partai Demokrat bukan tanpa alasan," ujarnya.
Beberapa kali, lanjut Direktur Indonesia Public Institute ini, SBY sebagai Presiden di hadapan publik meminta aparat netral. Namun, dukungan Partai Demokrat yang juga dipimpin SBY bakal menggoyahkan netralitas aparat dan pejabat pemerintahan di pusat dan daerah, termasuk juga militer dan jajaran Polri.
Secara khusus, Karyono memandang, dukungan yang diberikan Partai Demokrat juga akan menyebabkan militer tidak bersikap netral. Apalagi, Prabowo adalah satu-satunya kandidat yang berasal dari kalangan militer.
"Ada sentimen korps. Keluarga militer bisa condong ke salah satu kandidat karena hanya Prabowo satu-satunya calon dari militer. Ini sangat berbahaya jika aparat sudah tidak netral. Oleh karena itu, masyarakat harus meminta komitmen netralitas Panglima TNI (Jenderal Moeldoko,red) dan Kapolri (Jenderal Polisi Sutarman,red)," ujar Karyono.
Skenario lainnya yang terlihat, kata Karyono, muncul dari pembentukan opini publik yang disampaikan melalui lembaga survei sejak beberapa pekan terakhir. Beberapa lembaga survei menghasilkan survei yang tidak wajar karena menyatakan ada kenaikan elektabilitas yang fantastis dari Prabowo bahkan mengungguli Jokowi.
"Ini lompatan elektabilitas yang sangat jauh dalam waktu sangat singkat. Sangat tidak mungkin. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Prabowo dalam waktu singkat elektabilitasnya bisa meningkat drastis, apalagi sampai mengungguli Jokowi. Tidak mungkin bisa dipercaya," ujar Karyono.
TV One Diminta Minta Maaf ke PDIP
Jakarta - Dewan Pers akhirnya memutuskan bahwa pemberitaan TV One yang menyebut PDIP terkait dengan komunis telah melanggar Kode Etik Jurnalistik, bahkan televisi swasta tersebut diminta meminta maaf kepada pengadu dan pemirsa.
Keputusan itu diambil dalam sidang yang digelar di kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat, yang dipimpin oleh Komisioner Bidang Pengaduan Dewan Pers Ridlo Eisy dan dihadiri Wakil Pemimpin Redaksi TV One Toto Suryanto, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan praktisi hukum Todung Mulya Lubis.
Pemberitaan TV One yang dianggap menyalahi Kode Etik Jurnalistik ada dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi edisi Senin (30/6) pukul 07.40 WIB dan Berita Pemilu yang tayang Rabu (2/7) pukul 13.40 WIB. Pemberitaan yang mengaitkan PDIP dengan Partai Komunis Tiongkok itu dianggap melanggar pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik.
Wasekjen PDIP Ahmad Basarah mengatakan, dalam putusannya, Dewan Pers mewajibkan TV One untuk meminta maaf kepada DPP PDIP dan pemirsa serta memberikan hak jawab kepada partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Dalam persidangan itu, TV One juga diminta berjanji untuk tidak melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik lagi pada pemberitaan-pemberitaan berikutnya.
PDI Perjuangan selaku pengadu dan TV One sebagai teradu menerima penilaian Dewan Pers tersebut dan menyepakati proses penyelesaian. TV One bersedia memuat hak jawab pengadu, disertai permintaan maaf kepada pengadu dan pemirsa.
TV One bersedia menyiarkan Risalah Penyelesaian Pengaduan PDI Perjuangan sebagai bagian dari hak jawab.
"Kedua pihak sepakat menyelesaikan kasus ini di Dewan Pers dan tidak melanjutkan ke proses hukum. Kecuali kesepakatan itu tidak dipenuhi," katanya.
Ia mengatakan, pemberitaan TV One yang menyebut PDIP terkait komunis jelas tuduhan keji gaya Orde Baru. PDIP adalah partai nasionalis yang konsisten dengan ideologi Pancasila sebagai azas partai dan sekaligus sebagai dasar dan ideologi negara," katanya.
"Meski demikian, Basarah yang juga anggota Komisi III DPR berharap kesepakatan itu tidak diingkari oleh pihak TV One. Kita sepakat cukup sampai Dewan Pers saja," katanya.
sumber : Antara Bali